Jumat, 15 Mei 2009

$$$

What money will buy :

A bed but not sleep

Books but not brains

Food but not appetite

Finery but not beauty

A house but not a home

Medicine but not health

Luxuries but not culture

Amusement but not happiness

Religion but not salvation

...

Selasa, 24 Maret 2009

Sakinah, Mawaddah wa Rahmah



Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari'atkan.

Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah." (al-Furqan:54).

Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.

Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan keji.

Kita melihat bagaimana al-Qur'an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.

Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar." Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, yang artinya :

"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (al-A'raf:189).

Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya :

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi."(an-Nisa`:3)

Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur'an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur'an, yaitu:

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (al-Baqarah:187)

Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah

Al-Qur'an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (ar-Rum:21)

Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.

Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata "Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.

Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:

Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, "Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:

Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).

Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ' (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak).

Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).

Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-'Uyûn)

Ibn Katsir berkata, "Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya" (Tafsir Ibn Katsir)

Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, "dari jenismu sendiri." Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).

Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.

Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu 'lembaga' yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."

Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.

Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah."

Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, 'Aisyah radhiyallahu ‘anharadhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya. yang begitu cemburu terhadap Khadijah

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.

Sumber: Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany.

(Abu Hafshah)

Syaja'ah

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang-orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan 'amal shaleh dan berkata: sesungguh-nya aku termasuk orang-orang yang nyerahkan diri" (Fussilat: 33)

Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri adalah seorang ulama dijaman Khalifah Harun Al Rasyid. Alkisah pada suatu hari Khalifah sedang melaksanakan ibadah haji, sebagaimana lazimnya penguasa yang ada sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya tertutup untuk untuk umum. Pada saat Khalifah melakukan sa'i antara bukit Marwah dan Shofa seorang diri, sambil disaksikan, ribuan jamaah haji, berangkatlah Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri ke tempat sa'i. Sesampainya di Shofa, kebetulan Khalifah baru saja tiba di sana. Berteriaklahlah beliau, "Haruuuun...!", tanpa menyebut embel-embel kekhalifahan. Mendengar jeritan tadi, seluruh jamaah termasuk Khalifah terkejut melihat ke arah datangnya suara. Melihat wajah yang memanggil, menjawablah beliau, "Labbaika ya 'amm".

"Naiklah ke bukit Shofa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana ?". "Tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah", jawab Khalifah. "Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan dimintai pertanggung-jawabannya nanti di hadapan Allah, dan kamu akan diminta pertanggung-jawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah kepada dirimu, apakah pantas engkau perlakukan ummat seperti ini ?". Mendengar ucapan Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri tersebut, menangislah Khalifah seraya mengakui kesalahan yang beliau lakukan.

Inilah profil ulama akhirat yang tak butuh penguasa namun penguasa membutuhkan nasihatnya, ulama yang kental dengan ruhhul aqidah, yang pekat dengan akhlaq islami. Ulama yang sebenar-benarnya ulama.

Syaja'ah (berani) berkata akan kebenaran dan berani bertindak membelanya adalah salah satu ciri dan inti akhlaq islami itu. Ciri yang dimiliki para Nabi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri, Hasan Al Basri ketika menghadapi Al Hajjaj, Ibnu Taimiyyah dlsb. Ciri yang muncul atas penuhnya tsiqoh-billah (kepercayaan kepada Allah), dalam hati seorang Muslim, keyakinan akan kebenaran Allah.

Hati yang telah terwarnai oleh celupan Allah (sibghatullah) dan memiliki tsiqoh tak akan ragu, apalagi bersangka buruk terhadap Allah. Dalam satu detik di tengah kegagalan usaha, tak pernah ia melemparkan kesalahan diri pada Allah, meragukan keadilan Allah dsb. Dia percaya dengan sepenuh percaya akan Allah dengan segala asmaNya. Dia percaya tindakannya selalu dalam pengawasan Allah dan mendapat perlindungan dariNya. Dia percaya Allah akan membelanya baik di dunia maupun kelak di pengadilan akhirat, hari dimana semua pembela pun turut diadili, saat dimana tak ada lagi pembela selain Allah.

Rasa percaya itulah yang melahirkan keberanian, tsiqoh yang kuat membuahkan syaja'ah yang benar--berani bukan untuk pujian, kelompok atau sesuatu yang lain, tetapi berani karena itu, tindakan itu untuk Allah, untuk membela agama Allah semata, dan tidak untuk yang lainnya.

Dalam titik tsiqoh ini, dalam hati seorang Muslim, kebenaran Al Qur'an dan sunah tak memerlukan lagi legalitas ilmiah dari para orientalis. Tidak lagi keyakinan baru tumbuh setelah orang-orang kafir juga mengakuinya. Tsiqoh kepada Allah dan RasulNya memutus ketergantungan pada selain Allah. Kebenaran Allah adalah benar, meski ia dibenarkan atau tidak oleh para hamba taghut. Al Haq adalah haq, meski seluruh musuh Allah berkonspirasi untuk menolaknya. Kebenaran Allah adalah cahaya yang menerangi hati dan akal yang fitri. Dia tidak memerlukan pembenaran, karena dia benar adanya. Dia akan terang dan menjulang meski mulut-mulut pendusta mengingkarinya. Maha Benar Allah dengan segala firmanNya.

Syaja'ah, keberanian. Lalu siapakah yang lebih baik perkataannya ? Siapa ? Jawabnya tak lain dari mereka yang berani menyampaikan al Haq, menyeru kepada Allah sehingga tidak ada lagi fitnah (penyembahan manusia pada sesuatu selain Allah), dan semua penyembahan hanyalah ditujukan kepada Allah Rabbal 'alamiin. Inilah manusia-manusia yang berakhlaq Islami, akhlaqul karimah, manusia yang disayangi Rasulnya.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

Wassalam,
abu zahra

Aurat Wanita ...

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. 24: 31)

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (QS. 33: 59)

Diriwayatkan daripada Umar bin al-Khattab r.a katanya: Aku memenuhi kehendak tuhanku di dalam tiga perkara: Yaitu di Maqam Ibrahim, mengenai Hijab dan di dalam tawanan perang Badar Apabila anak wanita telah melihat (darah haidnya), maka dia tidak boleh tampak tubuhnya kecuali mukanya dan kecuali selain ini. Seraya Rasulullah Saw menggenggam hastanya beliau meninggalkan genggaman dan tapak tangan sepanjang genggaman yang lain. (HR Thabarani)

"Hai Asma, sesungguhnya anak wanita itu kalau sudah sampai datang bulan, tidak pantas terlihat tubuhnya, kecuali ini dan ini. Berliau berkata demikian sambil menunjuk kepada muka dan telapak tangannya." (HR Abu Daud).

Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu:
  1. Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi (cemeti)
  2. Perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan maksiat,.... (HR Muslim)

Rasulullah bersabda: "Aku menengok ke dalam syurga maka kulihat penghuninya adalah orang-orang miskin. Aku menengok ke dalam neraka, maka kulihat kebanyakan penghuninya adalah kamu wanita. (Nah Lho !, bz)

Senin, 02 Februari 2009

Nama, Mengapa Mesti Nebeng Suami ?


Ketika seorang perempuan menikah, kenapa seringkali jati dirinya tenggelam dalam jubah nama sang suami? Contohnya ketika gadis dipanggil Hanina, dan setelah menikah dengan laki-laki bernama Sulaiman, maka serentak orang memanggilnya Ibu atau Nyonya Sulaiman. Panggilan itu (pada awalnya) mampu membuat kita tersipu-sipu malu. Namun, tanpa kita sadari lama kelamaan tenggelamlah nama Hanina. Yang tinggal hanya Nyonya Sulaiman.

Danielle Crittenden (Wanita Salah Langkah, Qanita) menyebut penggunaan nama suami sebagai simbol tradisional untuk menanggalkan jatidiri masa lalu, lalu menyambut jati diri baru yang digunakan bersama. Masalah nama ini selanjutnya diklaim sebagai pencerminan kaum perempuan dalam memahami hakekat perkawinan. Jika kita tenggelam dalam nama suami, itu artinya kita mampu memahami makna perkawinan seutuhnya. Tapi jika kita tetap mempertahankan nama sendiri itu sama saja kita sedang ‘menentang perkawinan tradisional’. Kaum feminis berada pada barisan ini. Dan Crittenden menyebutnya sebagai ‘kepanikan jatidiri wanita modern’.

Nama, Jati Diri Sepanjang Masa Kebiasaan memperkenalkan diri dengan menyebut nama suami
tentu ada sisi baiknya, karena sebagai istri kita toh wajib dikenal masyarakat sebagai bojonya (suami) Hermawan misalnya. Jangan sampai hanya karena jarang setor tampang waktu arisan, tetangga kita tidak kenal siapa ya istrinya Pak Hermawan. Waktu nama kita dipanggil ‘Ibu Hermawan’, baru mereka sadar. Oh... ibu ini istrinya Pak Hermawan, ya? Jadi, perempuan yang kemarin naik mobil bareng Pak Hermawan itu siapa ya? Nah lho!!!

Lepas dari urusan mengenalkan pada masyarakat bahwa kita istri seseorang, urusan ini bisa menjadi masalah bila kita terlalu terbiasa (bahkan selalu) dengan menyebut nama sang suami sebagai nama kita. Bayangkan, jika kita harus selalu ngumpet dibawah bayang-bayang nama sang suami. Atau kita tidak percaya diri untuk menunjukkan jati diri kita sesunguhnya. Adakah akibat psikologisnya?

Jalaluddin Rakhmat, ahli Psikologi Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, menyitir bahwa seseorang yang senang menggunakan idiom atau bahasa sebagai pengganti dirinya sesungguhnya adalah pribadi yang seperti kehilangan dirinya sendiri. Bisa dibilang, dia menjadi nobody (bukan siapa-siapa) . Alih alih dia sebuah pribadi, penggunaan idiom malah membuatnya terlepas dari segala atribut pribadi. Dia menjadi seseorang yang pasif, pasrah, tidak memiliki tujuan bahkan bisa jadi ia seorang yang kehilangan rasa percaya diri.

Penjabaran di atas memang terasa terlalu jauh memvonis. Artinya, belum tentu orang yang senang memperkenalkan dirinya dengan nama sang suami adalah orang yang tidak punya rasa percaya diri.

Mengapa para istri lebih suka memakai nama suami ketimbang namanya sendiri, ada beberapa kemungkinan.

Pertama, lebih karena tidak mau repot. Soalnya, memang banyak kerepotan yang terjadi bila
menggunakan nama sendiri. Contohnya, ketika berkenalan menyebut nama kita: Rita, itu akan memancing orang lain untuk bertanya lebih banyak. Sudah berkeluarga Jeng? Lalu disusul pertanyaan berikutnya: siapa nama suaminya, apa pekerjaannya, asalnya, dari mana.....dan sebagainya.


Kedua, suami adalah nahkoda rumah tangga. Dan sebagai pemimpin, wajar kalau kita ngikut dia, bahkan sampai untuk urusan nama.

Ketiga, supaya gampang diterima lingkungan. Coba saja pikir, kalau semua tetangga dipanggil sesuai dengan nama suaminya, masak kita sendiri dipanggil dengan nama gadis. Bisa-bisa kita dituduh istri gelap.

Kempat, panggilan nyonya atau ibu, terasa lebih memberi kenyamanan psikologis. Itu akan membuat orang lain berhati-hati memperlakukan kita, karena sudah bersuami.

Indahnya Aturan Islam

Bagaimana Islam mengatur soal nama?


Budaya ini bukan dari Islam tapi justru datang dari Barat yang kemudian terakurlturasi ke dalam sebagian gaya hidup bangsa Indonesia. Islam sendiri memang tidak pernah mensyaraitkan hal itu, karena memang akan menimbulkan ghalath/kekacauan. Islam tidak pernah menyepelekan urusan nama. Islam bahkan serius memperhatikan masalah ini.

Nama merupakan harapan dari orang tua kepada sang buah hati (baik laki-laki maupun perempuan), yang mudah-mudahan Allah memberikan energi positif kepada si kecil. Misalkan, bila si kecil diberi nama Nuha yang artinya ilmu pengetahuan, dan kita mendidiknya untuk terus belajar agar menjadi orang berilmu. Insya Allah, si kecil akan selalu bersemangat menimba ilmu, baik ilmu duniawi maupun ilmu akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW berpesan kepada ummatnya untuk memberikan nama yang baik agar bisa memberi citra positif bagi si penyandangnya.

Nah, jika nama memberi energi positif, kenapa kita mesti mengubah nama Nuha menjadi Nyonya Joko, misalnya?

Nisbat Kepada Garis Ayah

Barangsiapa menisbatkan keturunan darinya kepada selain ayahnya sendiri dan dia mengetahui bahwa dia bukan ayahnya yang sebenarnya maka syurga diharamkan baginya (HR Muslim)

Hadis di atas jelas menyuruh kita untuk menisbatkan (menyandarkan) keturunan pada garis ayah. Mengapa? Tentu saja ini terkait erat dengan kejelasan silsilah. Bukankah ketika kita menikah maka wali perempuan haruslah dari garis keturunan laki-laki (ayah, paman, kakak laki-laki dsb)?

Dalam al-Qurâ’an surat Al Ahzab ayat 5 dijelaskan, kendati anak angkat, dia harus dipanggil sesuai nama bapaknya. Ini untuk menghindari hal-hal negatif, seperti kawin incest (kawin sedarah), misalnya.

Itulah sebabnya Islam mengajarkan agar menisbatkan nama anak kepada garis keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, sudah selayaknyalah kita dikenal sebagai Fatimah binti Hamid dan bukan Nyonya Fatimah Rozak atau Nyonya Rozak.

Menambah nama ayah pada nama kita, tentu tidak menghilangkan nama asli kita sama sekali. Kita hanya menisbatkannya pada ayah, bukan suami. Itu pula yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak kita. Untuk selalu, tanpa lupa, menggunakan nama sang ayah dibelakang nama-nama mereka. Baik bagi laki-laki maupun perempuan. Baik yang sudah menikah maupun masih lajang. Karena Allah sudah membuat aturan rasional ini, bahwa hubungan darah bersifat kekal.

Bukan seperti pernikahan, yang bisa hancur sewaktu-waktu. Jadi kenapa kita mesti mengikuti budaya yang salah padahal Allah sudah mengaturnya dengan manis? Konsep Barat yang banyak dipengaruhi oleh penyimpangan nasrani memang menetapkan bahwa sebuah perkawinan itu harus abadi selamanya tanpa memberi celah kemungkinan terjadinya perceraian, poligami dan seterusnya.

Karena itulah mereka menyatukan pasangan pengantin dalam format ‘keabadian’ dan melakukan ‘peleburan’ jati diri seorang istri kepada sosok suami. Salah satunya dengan melekatkan nama suami di belakang nama istri. Bahkan nama istri itu sendiri menjadi hilang berganti dengan nama suaminya.

Islam nampak lebih realistis dan lebih proporsional serta lebih menghargai jati diri dan aktualisasi sosok seorang istri. Kita tidak menemui istri Rasulullah SAW diganti namanya atau panggilan menjadi nyonya Muhammad misalnya. Istri Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali pun tidak pernah kita panggil dengan Nyonya Abu Bakar, Nyonya Umar, Nyonya Utsman atau Nyonya Ali. Mereka tetap dipanggil dengan nama mereka sendiri, kalaupun ada yang berubah, paling jauh adalah kuniyah (gelar) yang dikaitkan dengan nama anak atau ayah mereka.

Archives:
http://mx1.itb. ac.id/mailman/ private/unair/