Jumat, 12 Desember 2008

Jangan Pilih Pemimpin yang ...

Ketika arus reformasi bergulir di negeri ini, maka hampir seluruh tatanan kenegaraan mengalami perubahan. Termasuk didalamnya adalah mekanisme dalam memilih pemimpin di negeri yang mayoritas muslim ini. Kalau dulu kita cukup mewakilkan pilihan kita pada orang-orang partai yang duduk di dewan, sekarang dari presiden sampai RT bisa kita pilih secara langsung. Kalau dulu suasana pemilihan hanya terasa 5 tahun sekali sekarang hampir tiap tahun ada saja pemilihan.

Nah menghadapi acara pilih-memilih yang semakin sering ini, bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim ketika kita dalam posisi harus menentukan seseorang sebagai pemimpin. Untuk itu Alqur'an memberi bimbingan kepada kita siapa-siapa saja yang harus kita hindari untuk dipilih atau dalam bahasa lainnya jangan pilih orang yang punya indikasi yang ditunjukkan Alqur'an sebagai berikut:

1. Kafir Kepada ALLAH
Seorang muslim, kalo dia bisa memilih orang yang akan menjadi pemimpin bagi dirinya haram hukumnya memilih orang kafir sebagai pemimpinnya. Karena sejatinya orang kafir adalah musuh-musuh Allah. Bahkan Allah memberikan ancaman kalau kita tetap memilih musuh-musuhnya manakala kita jadikan sebagai pemimpin. Firmannya:

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) terhadap sesauatu yang ditakuti. Dan Allah memperingatkanmu dari siksa-Nya. Dan hanya kepada Allah tempat kamu kembali." (Ali-Imran: 28)

2. Bukan Dari Golongan (agama) Kita
Hanya orang-orang yang punya keyakinan sama sajalah yang memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan. Sebaliknya sebagaimana informasi Alqr'an bila urusan kita serahkan kepada orang diluar agama kita, mereka hanya akan membawa kita kepada kecelakaan dan memancing datangnya murka Allah. Karena tanpa disadari oleh kita mereka hanya akan membawa kita kepada nilai-nilai yang semakin jauh dari nilai-nilai agama kita.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi temankepercayaanmu orang-orang diluar kalanganmu, karena mereka tak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: "Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (Ali-Imran: 118-120)

3. Orang yang Mengajak untuk Berbuat ingkar Kepad ALLAH
Bahkan orang semacam ini patut untuk diperangi. Alih-alih untuk dijadikan pemimpin, Allah memberikan rekomendasi untuk mengambil sikap bermusuhan terhadapnya. Karena ia hanya akan menjadikan kita pada akhirnya kafir kepada Allah sebagaimana diri-diri mereka. Dan Allah tidak mengizinkan kita untuk berhutang budi (jasa) kepada mereka dengan menjadikan mereka pelindung dan penolong kita.

"Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka dimana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong." (An-Nisaa': 89)

Di ayat yang lain bahkan Allah melarang kita untuk memilih mereka meski mereka punya pertalian keluarga atau kekerabatan dengan kita. Kekafiran adalah musuh, dan itu harga mati.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-sauaramu (sebagai) pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (At-Taubah: 23)

4. Selain Mukmin (orang yang beriman kepada Allah)
Apabila kita lebih memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin sementara keadaan memungkinkan bagi kita untuk memilih saudara-saudara kita yang seiman, Allah (dalam Alqur'an) mengancam akan memberikan siksa kepada kita. Atau apa yang kita lakukan tersebut akan dijadikan Allah sebagai alasan untuk datangnya hukuman kepada kita.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasanyang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?" (An-Nisaa': 144)

5. Yahudi dan Nasrani
Allah juga melarang kita untuk memilih orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk kita pilih sebagai pemimpin. Karena kalau kita memilih mereka, Allah menyamakan kita dengan mereka (menjadi golongan mereka) dan apa yang kita lakukan tersebut digolongkan Allah sebagai satu bentuk kezaliman.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpinbagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itutermasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zali." (Al-Maidah: 51)

6. Orang yang Suka Mengolok-olok Agama Allah
Biasanya munculnya orang seperti ini karena ia ingin dilihat sebagai seseorang yang cerdas, punya fikiran yang 'jenius' dan berani tampil beda. Dan untuk terlihat kalau ia bersikap obyekti dan demokratis serta humanis, ia jadikan agama sebagai sasaran olok-oloknya. Kita sangat dilarang menjadikan orang semacam ini sebagai pemimpin.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamujadi buah ejekan dan permaina, (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman." (Al-Maidah: 57)

7. Musuh (yang memusuhi) Allah
Orang yang punya indikasi seperti ini, jangan lagi menjadi pemimpin kita, berteman secara dekat saja dengan mereka Allah melarang. Karena mereka hanya akan mencari jalan pada suatu kesempatan untuk menghancurkan kita. Dan terhadap mereka kita juga dilarang menceritakan sesuatu yang menjadi rahasia kita (orang-orang yang beriman). Hal ini bisa kita lihat dalam Alqur'an surat Al-Mumtahanah: 1.

Inilah tujuh jenis dan sifat manusia yang tidak boleh kita jadikan sebagai pemimpin sesuai petunjuk Allah dalam Alqur'an. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam,
ayahkamil.

Kamis, 11 Desember 2008

Memahami Ghazwul Fikri

“Mereka menghendaki untuk memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir benci .“ (At-Taubah: 32; ash-Shaf: 8)

“Mereka tidk henti-hentinya memerangi kalian hingga kalian murtad dari agama kalian jika mereka mampu.” (Al-Baqarah: 217)

Satu hal penting yang kurang mendapat perhatian secara proporsional dari kaum muslimin adalah adanya perang pemikiran atau ghazwul fikri. Bahkan tidak sedikit muballigh atau da’i yang belum mengetahuinya. Kalaupun mengetahui, kurang menyadari akan bahayanya bagi Islam dan umatnya. Mudah-mudahan uraian singkat ini, dapat menjadi wasilah (sarana) untuk menambah wawasan dan menggugaj kesadaran kita, sehingga dapat beramal dan berdakwah dengan bijak.

Secara sederhana, ghazwul fikri dapat diartikan sebagai perang pemikiran atau perang intelektual. Namun karena luasnya pembahasan, maka ada pula yang mengartikan (menerjemahkannya) sebagai invasi pemikiran, perang ideologi, perang budaya, perang urat syaraf, dan perang peradaban.

Dalam arti luas ghazwul fikri adalah cara atau bentuk penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda,dialog dan perdebatanyang menegangkan serta upaya lain pengganti pedang, bom dan persenjataan lainnya. Ia merupakan perang non konvensional, baik cara, sarana, alat, tentara, target maupun sasarannya.

Namun demikian ghazwul fikri tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral (yang tak terpisahkan) dari metode perang (uslub qital) yang bertujuan untuk memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, atau jika tidak tercapai, setidaknya mendangkalkan keagamaan seseorang atau masyarakat. Ia bukan merupakan tahapan peperangan, akan tetapi sebagai pelengkap dan peyempurna, alternatif dan pelipatgandaan cara peperangan dan penyerbuan orang-orang kafir terhadap Islam dan umatnya.

Dalam sejarah kontemporer, penerapan ghazwul fikri dilakukan oleh orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani, musyrikin, dll.). Cara tersebut dilakukan setelah mereka gagal menaklukan dunia Islam melalui perang konvensional pada Perang Salib. Kekalahan telak yang mereka alami menimbulkan kesadaran barubagi mereka, bahwa menaklukan Islam diperlukan penyerbuan yang sifatnya non militer (non konvensional).

Orang pertama yang menyadari perlunya metode baru untuk menghancurkan atau menaklukan dunia Islam adalah Louis XIV, raja Perancis yang tertawan di Al-Manshuriyah pada Perang Salib VII. Ia menyerukan untuk melipatgandakan serbuan terhadap kaum muslimin. Dalam memoarnya ia menulis,

“Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya telah menjadi jelas bagi kita. Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional adalah mustahil. Karena mereka memiliki manhaj yang jelas dan, yang tegas diatas konsep jihad fii sabilillah. Dengan manhaj ini, mereka tidak akan pernah mengalami kekalahan militer.”

Karena itu, lanjutnya, “Barat harus menempuh jalan lain (bukan militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar manhaj dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai ta'wil dan tasykik.”

Melihat kecilnya kemungkinan untuk dapat menghancurkan Islam, maka Samuel Martinus Zwemer, seorang Yahudi yang telah masuk Kristen dan menjadi tokoh, menurunkan targetnya. Ia mengatakan, “Tujuan kita bukan mengkristenkan umat Islam, target kita adalah menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Ini yang harus kita capai walaupun mereka tidak bergabung dengan kita.”

Strategi atau uslub ghazwul fikri seperti itu sebenarnya sudah dipraktekan oleh orang-orang munafik dan orang-orang zindik pada awal Islam, yang kita kenal sebagai gembong munafik dan pembuat fitnah besar pada masa Nabi SAW., salah satunya Abdullah bin Ubay bin Salul. Menurut Anwar Al-Jundi, yang pertama melancarkan ghazwul fikri setelah Abdullah bin Ubay bin Salul adalah Abdullah bin Saba’ dan Abdullah bin Muqoffa’ beserta kaum zindik.

Ghazwul Fikri sebagai sebuah strategi atau metode baru dalam menyerbu dunia Islam, baru dikenal kira-kira pada paro awal abad ini. Para aktivis gerakan Islam, baru menyadari adanya ghazwul fikri setelah banyak korban yang berjatuhan. Mereka telah melakukan penyelidikan, antara lain adalah Dr. Abdussatar Fathullah Said, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Dr. Anwar Jundi, Dr. Abdul Marzuq Shabur. Di Indonesia, seseorang yang banyak mengkaji ghazwul fikri yaitu Ustadz Abu Ridho, Lc.

Target Ghazwul Fikri
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud, ghazwul fikri merupakan suatu upaya untuk menjadikan:
  1. Bangsa yang lemah atau sedang berkembang, tunduk kepada Negara penyerbu.
  2. Semua Negara, Negara Islam khususnya, agar selalu menjadi pengekor setia negara-negara maju, sehingga terjadi ketergantungan di segala bidang.
  3. Semua bangsa, bangsa Islam khususnya, mengadopsi ideology dan pemikiran kafir secara membabi buta dan serampangan, berpaling dari manhaj Islam, Alqur’an dan Sunnah.
  4. Bangsa-bangsa mengambil system pendidikan dan pengajaran negara-negara penyerbu.
  5. Umat Islam terputus hubungannya dengan sejarah masa lalu, sirah Nabinya dan salafussaleh.
  6. Bangsa-bangsa atau Negara-negara yang diserbu menggunakan bahasa penyerbu.
  7. Ghazwul fikri sebagai upaya melembagakan moral, tradisi, dan adat-istiadat bangsa penyerbu di negara yang diserbunya.
Tampaknya ghazwul fikri itu telah mempengaruhi jalan pikiran dan moralitas bangsa yang diserbunya. Tidak sedikit kaum muslimin yang mengalami kekalahan mental. Misalnya gejala islamophobi, rasa rendah diri, dan meragukan ajaran Islam dengan berbagai dalih.

Apa yang dikatakan oleh Zwemer, sebagaimana dikemukakan diatas, betul-betul mereka wujudkan. Orang-orang kafir menyerang seluruh konsep Islam dan kehidupan kaum muslimin (termasuk sejarahnya). Hampir seluruh ajaran Islam dan aplikasinya dijadikan sasaran tembak ghazwul fikri.

Untuk mencapai target atau sasaran, sebagaimana digambarkan diatas, setidaknya ada tujuh komponen yang mereka jadikan objek serangan untuk dirusak atau dihancurkan, yaitu:
  1. Alqur’an dan Sunnah yang merupakan sumber atau dasar berfikir, bersikap dan beramal umat Islam;
  2. Bahasa Arab sebagai bahasa agama (Alqur’an, diin) dan ilmu pengetahuan;
  3. Sirah (sejarah) Rasulullah SAW sebagai suri tauladan utuh dan abadi bagi umat Islam;
  4. Kebudayaan Islam sebagai produk pemikiran (ijtihad) para ulama dan mujtahid;
  5. Sastra Arab;
  6. Warisan (turats) Islam; dan
  7. Sejarah Islam.
Cara dan Sarana
Ambisi besar orang-orang kafir (Yahudi, Nasrani, musyrik, dll.) yang didukung dengan semangatdendan membara untuk menaklukkan dunia Islam, mengantarkan mereka melakukan apa saja (menghalalkan segala cara). Diantaranya terlihat dengan sangat jelas dalam Protokolat Zionis Internasional yang dihasilkan di Bazel, Swiss, 1897.

Menurut para pakar yang mengkaji ghazwul fikri, ada beberapa cara atau taktik yang sering dilakukan oleh para penyerbu (orang kafir), antara lain:

  1. Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan penangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya.
  2. Tasywih, yaitu pengaburan. Caranya dengan penggambaran buruk tentang Islam untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap Islam.
  3. Tadzwiib, yaitu pelarutan, pencampuradukan atau talbis antara pemikiran dan budaya Islam dengan pemikiran dan budaya Jahiliyah (kufur).
  4. Taghrib, atau pembaratan (westernisasi), yaitu mendorong kaum muslimin untuk menyenangi dan menerima pemikiran, kebudayaan, gaya hidup dan apa saja yang dating dari Barat.
Cara lain yang lebih praktis dalam melakukan ghazwul fikri adalah penyebaran sekularisme (‘ilmaniyah), nasionalisme (wathoniyah), penyebaran pornografi, memperbanyak tempat-tempat maksiat dan hiburan, penyebaran miras dan narkoba, dan lain-lain.

Adapun sarana (wasa’il) yang digunakan untuk memadamkan cahaya (agama) Allah atau merusak citra Islam maupun menaklukan dunia Islam melalui apa saja yang dapat mereka pergunakan. Yang cukup menonjol antara lain:
  • Penguasaan dan pemanfaatan lembaga atau instansi pemerintah;
  • Pembuatan, penguasaan dan pemanfaatan media elektronika, fil, lagu, dll.);
  • Pendidikan yang hampir semua perangkatnya berkenaan dengan pendidikan yang mereka kuasai. Misalnya kurikulum, system manajemen dan kepemimpinan, lembaga pendidikan, filsafat pendidikan, dll.;
  • Organisasi social kemasyarakatan atau LSM dengan berbagai program dan kegiatannya; dan
  • Forum-forum, seperti seminar, diskusi, dialog antar iman, dan semacamnya.
Sekedar Contoh
Barat dengan berbagai lembaga dan wadah kegiatannya, banyak memberikan fasilitas beasiswa studi gratis ke luar negeri. Pemuda dan pemudi yang cerdas darai negeri muslim ditawari untuk kuliah di universitas-universitas mereka yang favorit di luar negeri.

Di bidang ilmu-ilmu social, mereka dipilihkan ke program studi yang rentang terhadap ghazwul fikri, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, dll. Mereka ‘dikader’ untuk menjadi ahli dibidang tersebut, kemudian dipulangkan ke negeri masing-masing. Harapannya, dapat menjadi pelaku utama dalam ghazwul fikri atau merusak Islam dari dalam (pada umumnya berkedok pembaharuan atau modernisasi).

Untuk pemuda-pemudi yang betul-betul brilian, diarahkan ke jurusan yang mereka butuhkan. Mereka ‘dikader’ untuk dipekerjakan di negeri mereka sendiri. Artinya tidak untuk dipulangkan ke negeri asalnya. Mereka inilah yang kemudian sering termasuk dalam brain drain (pelarian intelektual).

Semua yang mereka ‘kader’ akan ‘dikondisikan sedemikian rupa dengan segala cara sehingga rusak dan luntur rasa keagamaan (Islam)nya, luntur akidah, akhlak dan rusak pemikirannya. Mereka didekatkan dengan lawan jenisnya yang cantik atau tampan, diajaknya minum-minum, jalan-jalan, kumpul kebo, dll., diajak diskusi secara kontinyu dengan tema-tema ynag dapat menggiring kepada pelecehan dan perendahan Islam oleh orang-orang tertentu yang lihai, dan dipaksa membuat karya tulis dengan literatur yang telah ditentukan.

Akhirnya setelah studinya selesai dan pulang ke negerinya, si pelajar atau mahasiswa tersebut menjadi orang yang telah tercerabut dari akar budaya dan keislamannya; menjadi orang yang semakin permisif terhadap batas-batas syar’i. Bahkan yang lebih mengerikan adalah keberanian mereka untuk merombak hukum-hukum Islam. Misalnya mengatakan ‘tidak sreg’ dengan hokum waris 2:1, mengatakan bahwa tidak semua orang non-muslim itu kafir, mengatakan semua agama itu sama, dan lain-lain yang bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah.

Bahaya Ghazwul Fikri
Korban ghazwul fikri memang tidak ada yang luka atau terbunuh (mati secara fisik). Namun ghazwul fikri sesungguhnya jauh lebih berbahaya daripada perang konvensional. Dalam perang fisik, konsekuensi seseorang yang paling berat adalah akan mati, yang berarti kehilangan tokoh atau pasukan, kerusakan pada umumnya berupa kerugian materi. Akan tetapi dalam ghazwul fikri yang terserang adalah jiwa, mentalitas dan pemikirannya. Secara fisik, korban ghazwul fikri masih segar bugar.

Jika yang menjadi korban ghazwul fikri adalah seorang tokoh terkemuka dan berpengaruh, maka racun ghazwul fikri itu segera menjalar secara cepat, karena tokoh tersebut akan diikuti dan ditiru oleh pengikut dan penggemarnya. Akhirnya, secara tidak sadar masyarakat terjerumus kedalam jurang kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Mereka menjadi manusia yang sekuler, sinkretis, materialis, pragmatis dan hedonis. Dengan kata lain mereka telah tercerabut jati dirinya dari akidah Islam, semangat keislaman, dan kemauan untuk memperjuangkan Islam maupun umatnya. Na’udzubillahi min dzalik.

Mengingat begitu besarnya bahaya dan akibat ghazwul fikri bagi kehidupan umat Islam, maka perlu bagi kaum muslimin, khususnya para da’i, muballigh dan cendekiawan muslim untuk memahami ghazwul fikri dan aplikasinya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sebab tanpa mengerti hakikat dan keberadaannya, tidak akan dapat menghindari serangan ghazwul fikri, dan otomatis tidak bias melawannya. Mudah-mudahan dengan demikian itu, janji Allah untuk liyundzirahu ‘aladdiini kullih atau ‘izzul Islam wal muslimin segera menjadi kenyataan.

Hasbunallahu wa ni’mal wakiil.

*) Di ambil dari : Bagaimana Berpikir Islami, oleh Abu Azmi Azizah

Kamis, 04 Desember 2008

Bismillahirrohmanirrohim

Aku sedang coba2 buat blog. kalo2 aja media ini bermanfaat, bukan hanya untukku tapi juga buat orang2 yang yang barangkali tertarik untuk berbagi kebaikan... Insya ALLAH.

Rabu, 03 Desember 2008

Sifat Kepemimpinan Rasul SAW

Ada banyak riwayat dan cerita berkaitan dengan kunci sukses kepemimpinan Rasul Muhammad SAW, dan semua bercerita bahwa kunci sukses tersebut tidak terlepas dari sifat keutamaan beliau selaku pengemban risalah Ilahiah. Dan ketika orang berkisah mengenai kehidupan beliau, paling tidak ada 4 sifat yang lekat dalam kehidupannya yang sering dikutip para pendakwah dan penulis untuk menunjukkan betapa pribadi agung itu memiliki sifat-sifat utama yang pantas untuk diteladani. Keempat sifat tersebut; Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.

Lantas apa kaitan sifat-sifat tersebut dengan kisah sukses beliau sebagai seorang pemimpin, dan bagaimana kaitan sifat tersebut dengan perilaku memimpin yang beliau tampilkan. Tulisan ini mencoba menarik korelasi dari satu sama lainnya sehingga bisa disimpulkan pada akhirnya ketika kaidah-kaidah yang sangat indah itu dapat diemban secara sempurna, maka kesuksesan menjadi sebuah keniscayaan. Dan itu sangat sunatullah.

1. Siddiq
Jujur !, itulah sifat awal yang utama dari seseorang yang mengemban tugas kenabian. Baginya tidak ada yang perlu disembunyikan, baik atas dasar pertimbangan orang lain apalagi semata kepentingan diri sendiri. Dan ketika amanah kepemimpinan telah diemban, maka sifat jujur adalah modal awal yang menjadi keharusan. Mengapa ?, karena ia akan menjadikan kepemimpinan akan ringan ketika harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sekaligus juga akan menjadi modal membangun kepercayaan antara dirinya dengan orang-orang yang dipimpinnya.

Adalah menjadi hambatan dan malapetaka yang maha besar bila seorang mengambil tugas kepemimpinan sementara dirinya tidak memiliki sfat jujur. Ketidak jujuran akan menghambat seseorang untuk menjadi pemimpin yang sukses, karena hari-harinya hanya akan disibukkan untuk menutupi dan mencari dalih dari sifatnya tersebut. Dan bagi orang-orang yang dipimpinnya, orang semacam ini adalah malapetaka. Alih-alih mengurus kepentingan orang yang dipimpinnya yang ada justru janji-janji palsu kesejahteraan yang selalu menuntut pengorbanan orang-orang tersebut untuk menutupi kebohongan sang pemimpin. Artinya jangan harap akan ada kemauan berkorban sang pemimpin demi kemaslahatan orang-orang yang dipimpinnya yang ada malah sebaliknya demi keuntungan dan kenyamanan dirinya ia tak segan untuk mengorbankan kehidupan orang lain, meskipun orang lain itu tak lain adalah orang yang seharusnya ada dalam lindungannya.

Sifat jujur adalah kunci sukses kepemimpinan Rasul SAW. Sejarah mencatat, beliau adalah seorang makhluk yang tak pernah dusta meski keadaan 'mengizinkan' sekalipun. Bahkan sifat jujur tersebut begitu inheren pada dirinya. Jujur adalah pakaian dan predikatnya jauh sebelum tugas kerasulan diembannya. Kita tidak akan pernah menjumpai sedikitpun catatan didalam hidupnya ia tengah berdusta. Selalu saja ia katakan apa adanya, meski tak jarang sikapnya itu akan mendatangkan nestapa. Karena ia yakin betul dipenghujung cerita akan berbuah bahagia.

Kalau terhadap manusia saja ia begitu 'apa-adanya'. Bagaimana mungkin terhadap Tuhannya ia mau berdusta. Bukankah adanya tugas kepemimpinan buka semata ditunjuk manusia, tetapi ia bagian dari ketetapan Allah yang harus ditunaikan dan kelak dipertanggungjawabkan.

Perhatikan ayat dan firman Tuhan tak satupun yang ia sembunyikan. Termasuk ketika ayat-ayat itu tengah bercerita dan menunjukkan 'kekeliruannya' selaku manusia biasa. Baginya berani menunjukkan kekeliruan jalan hidup kemudian menginsyafinya bukan 'aib. Apalagi bila hal itu bisa mejadi pelajaran baik untuk dirinya maupun orang-orang yang tengah dipimpinnya. Kehormatannya tidak menjadi tercederai hanya karena ada kekeliruan yang diketahui orang lain. Tetapi menutupi kekeliruan dengan aneka dusta hanya akan menjadi penghalang antara dia dan orang-orang yang dipimpinnya yang memang begitu ia cintai.

Begitulah memang kalau kita berhadapan dengan orang jujur. Jangankan persoalan hidup kita, persoalan kematian (akhirat) kita pun terasa aman kita 'titipkan' padanya. Sungguh berbeda ketika kita berhadapan dengan seorang pendusta, sekalipun di saat makan bersama masih saja hati menaruh curiga.

2. Amanah
Sakit rasanya hati, apabila ketika sebuah kepercayaan yang kita berikan kemudian terkhianati. Apapun bentuk relasinya, anak-orangtua, suami-istri, persahabatan, partner bisnis termasuk juga kepemimpinan akan menjadi halangan bathin yang tak terperi apabila salah satu pihak merasa dikhianati.

Halangan hati jauh lebih 'menutup' ketimbang adanya halangan fisik dan materi. Cinta dan kasih sayang mustahil hadir bila diantara kedua pihak terhalang hijab bernama benci. Sebaliknya meski jarak membentang, jika ia dipautkan rasa cinta dan kasih sayang, sosok nun jauh disana selalu saja datang menjelang.

Amanah adalah salah satu kunci sukses dari kepemimpinan Rasul. Bahkan ditangannya kepemimpinan merupakan amanah itu sendiri. Pantang baginya bermain-main dengan tugas kepemimpinan, karena kosekuensinya begitu berat. Tidak saja kekhawatiran akan tidak suksesnya sebuah kepemimpinan tetapi yang lebih dikhawatirkan adalah ketika harus berhadapan dengan Tuhannya saat datangnya hari peradilan.

Mungkin peradilan dunia bisa kita kelabui dan orang-orang yang kita pimpin tak tahu kalau ia kita khianati. Tetapi bagaimana dengan peradilan Tuhan ?. Kalau peradilan dunia bisa kita 'menangkan' karena kemampuan kita menghadirkan pengacara yang pandai bersilat lidah dan merekayasa undang-undang dan peraturan. Lalu bagaimana ketika kita berhadapan dengan zat yang Maha Adil?. Sementara saat itu kita sendirian, dan tak bisa lari kemanapun untuk mencari perlindungan. Pantas kalau Allah dalam al Qur'an mengatakan fa ayna tazhabuun..? -- maka kemana kamu akan pergi?.

Sepanjang tugas kepemimpinannya Rasul SAW tidak akan pernah kita jumpai ia berkhianat. Ketika ia membuat janji dengan musuh sekalipun, semua yang sudah terikrarkan pantang baginya ia khianati. Kalau demikian, bagaimana mungkin ia akan berkhianat terhadap orang-orang yang dipimpinnya, apalagi terhadap Tuhannya. Itulah mengapa ia menjadi seorang yang begitu dihormati tidak saja oleh orang-orang sekelilingnya, bahkan musuh-musuhnya. Rasanya jangankan seorang pemimpin, seekor anjing saja ketika telah terbukti sifat amanah kepada tuannya akan memunculkan perasaan cinta dan kasih sayang. Hanya saja sedikit sekali pemimpin sekarang yang menjadikan amanah sebagai modal kepemimpinan, sehingga seekor anjing pun terkadang lebih pantas untuk diberikan penghormatan dibanding dirinya -- ulaa ika kal an'aami bal hum adhol.

3. Tabligh
Arti kata ini adalah menyampaikan. Sifat ini selaras dengan butir pertama, jujur. Apa yang disampaikan?. Adalah seluruh aspek kehidupan yang memang seharusnya seorang pemimpin sampaikan kepada orang yang dipimpinnya. Tidak ada satu hal pun yang disembunyikan, manakala ada hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan orang-orang yang ada dalam naungan kepemimpinannya. Meskipun dalam hal ini ia harus berhadapan dengan kepentingan dirinya sendiri!.

Berbeda dengan kebanyakan pemimpin saat ini, yang begitu sering menyembunyikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakatnya hanya demi strategi mengamankan kekuasaannya. Terkadang untuk melakukan hal tersebut ia tidak memantangkan dirinya dari berbohong kepada orang lain. Omongannya sukar sekali untuk dijadikan pegangan dan pedoman. Karena tiap kali bisa berubah sesusai kebutuhan 'syahwatnya'. Ketidak konsistenan adalah ciri penampilannya, karena setiap kali ia bicara selalu saja dusta. Dusta yang satu ditutupi lagi dengan dusta selanjutnya. Karena ketika ia harus berkata jujur, maka yang terjadi justru ia 'menelanjangi' diri sendiri. Dan ia tidak ingin mengambil resiko itu.

Karena hidupnya penuh kebohongan, maka menutup informasi mengenai dirinya dari yang sesungguhnya adalah keharusan. Karena begitu orang tahu tentang dirinya, tidak ada lain kecuali kebusukan saja isinya. Akibatnya orang selalu menduga-duga terhadap apapun informasi yang dismapaikan. Dan setiap kali ia berkata-kata orang selalu mengartikan sebaliknya dari apa yang ia ucapkan. Komunikasi yang terjalin, adalah komunikasi saling curiga yang pada akhirnya tidak ada lagi saling percaya antara pemimpin dan masyarakatnya. Sudah tentu tidak akan tercapai efektifitas kepemimpinan yang dibangun melalui komunikasi macam ini.

Jalannya kepemimpinan Rasul yang efektif tidak lepas dari cara beliau berkomunikasi dengan masyarakatnya. Setiap kali beliau menyampaikan informasi, dampaknya selalu menimbulkan ketenangan dan kepastian. Dan ketika kepastian ada, ketentraman menjadi niscaya, munculnya saling percaya, sekaligus juga memunculkan rasa saling cinta antara yang memimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya. Karena masyarakatnya sangat percaya tidak ada satupun informasi yang berkaitan dengan hajat hidupnya yang disembunyikan. Semuanya selalu tersampaikan secara lengkap dan... dalam kesempatan pertama!.

Dengan cara komunikasi seperti itu, Rasul SAW ingin membuktikan sekaligus mengajarkan kita bahwa lisan yang jujur dapat digunakan untuk memotivasi kebaikan. Dan bila hal itu dilakukan oleh seorang pemimpin, maka selanjutnya akan mengurangi kerepotan dari tugas-tugas kepemimpinan lainnya yang memang tidak ringan. Karena ucapan pemimpin tidak menimbulkan spekulasi dalam masyarakat, akhirnya tujuan-tujuan bersama yang telah ditetapkan diawal menjadi jauh lebih mudah untuk dilaksanakan.

4. Fathonah
Tentu saja seorang pemimpin harus memiliki tingkat kecerdasan yang memadai. Karena kecerdasan itulah yang akan membantunya mengelola dan memanage kepemimpinannya. Karisma memang perlu, tetapi karisma yang tidak disertai kecerdasan cukup hanya akan memunculkan kultus yang tidak perlu bahkan merugikan. Tata kelola kepemimpinan yang baik hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang memiliki kecerdasan. Dan sebuah leadership dari seorang pemimpin yang cerdas akan menjadi solusi dari setiap persoalan orang yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, dimana sering kita jumpai seorang pemimpin malahan menjadi persoalan dan beban bagi orang-orang disekelilingnya.

Rasul SAW tidak hanya credible dalam artian memiliki nama baik karena sifat-sifat mulia yang melekat padanya. Tetapi ia juga seorang pemimpin yang karismanya terbangun salah satunya karena kecerdasan yang dimilikinya. Itu terbukti disaat ia dan kaumnya dihadapkan pada kondisi sulit bahkan kritis selalu saja ada ide-ide kreatif dan cerdas yang membawanya menjauh dari persoalan yang ada, bahkan meniadakan persoalan itu.

Oleh karenanya, lengkap rasanya model kepemimpinan yang ditampilkan Rasul SAW didalam mengelola sebuah kepemimpinan. Karena semua instrumen kepemimpinan yang dibutuhkan bagi mutlaknya sebuah kesuksesan ada pada dirinya. Sudah jujur, memelihara komitmen, komunikatif cerdas pula. Ditambah lagi dengan unsur-unsur yang mengundang decak kagum, seperti sabar, sederhana dan tidak tingi hati. Rasanya tak ada celah bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk tidak mencintainya. Dan seorang pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya 'kayaknya' satu-satunya ujung dari kepemimpinannya hanyalah kesuksesan. Dan Rasul SAW telah menerapkan sistem kepemimpinan Ilahiah yang mestinya kita tiru disaat amanah kepemimpinan itu ada di pundak kita. Wallahu a'lam.

ayahkamil