Senin, 02 Februari 2009

Nama, Mengapa Mesti Nebeng Suami ?


Ketika seorang perempuan menikah, kenapa seringkali jati dirinya tenggelam dalam jubah nama sang suami? Contohnya ketika gadis dipanggil Hanina, dan setelah menikah dengan laki-laki bernama Sulaiman, maka serentak orang memanggilnya Ibu atau Nyonya Sulaiman. Panggilan itu (pada awalnya) mampu membuat kita tersipu-sipu malu. Namun, tanpa kita sadari lama kelamaan tenggelamlah nama Hanina. Yang tinggal hanya Nyonya Sulaiman.

Danielle Crittenden (Wanita Salah Langkah, Qanita) menyebut penggunaan nama suami sebagai simbol tradisional untuk menanggalkan jatidiri masa lalu, lalu menyambut jati diri baru yang digunakan bersama. Masalah nama ini selanjutnya diklaim sebagai pencerminan kaum perempuan dalam memahami hakekat perkawinan. Jika kita tenggelam dalam nama suami, itu artinya kita mampu memahami makna perkawinan seutuhnya. Tapi jika kita tetap mempertahankan nama sendiri itu sama saja kita sedang ‘menentang perkawinan tradisional’. Kaum feminis berada pada barisan ini. Dan Crittenden menyebutnya sebagai ‘kepanikan jatidiri wanita modern’.

Nama, Jati Diri Sepanjang Masa Kebiasaan memperkenalkan diri dengan menyebut nama suami
tentu ada sisi baiknya, karena sebagai istri kita toh wajib dikenal masyarakat sebagai bojonya (suami) Hermawan misalnya. Jangan sampai hanya karena jarang setor tampang waktu arisan, tetangga kita tidak kenal siapa ya istrinya Pak Hermawan. Waktu nama kita dipanggil ‘Ibu Hermawan’, baru mereka sadar. Oh... ibu ini istrinya Pak Hermawan, ya? Jadi, perempuan yang kemarin naik mobil bareng Pak Hermawan itu siapa ya? Nah lho!!!

Lepas dari urusan mengenalkan pada masyarakat bahwa kita istri seseorang, urusan ini bisa menjadi masalah bila kita terlalu terbiasa (bahkan selalu) dengan menyebut nama sang suami sebagai nama kita. Bayangkan, jika kita harus selalu ngumpet dibawah bayang-bayang nama sang suami. Atau kita tidak percaya diri untuk menunjukkan jati diri kita sesunguhnya. Adakah akibat psikologisnya?

Jalaluddin Rakhmat, ahli Psikologi Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, menyitir bahwa seseorang yang senang menggunakan idiom atau bahasa sebagai pengganti dirinya sesungguhnya adalah pribadi yang seperti kehilangan dirinya sendiri. Bisa dibilang, dia menjadi nobody (bukan siapa-siapa) . Alih alih dia sebuah pribadi, penggunaan idiom malah membuatnya terlepas dari segala atribut pribadi. Dia menjadi seseorang yang pasif, pasrah, tidak memiliki tujuan bahkan bisa jadi ia seorang yang kehilangan rasa percaya diri.

Penjabaran di atas memang terasa terlalu jauh memvonis. Artinya, belum tentu orang yang senang memperkenalkan dirinya dengan nama sang suami adalah orang yang tidak punya rasa percaya diri.

Mengapa para istri lebih suka memakai nama suami ketimbang namanya sendiri, ada beberapa kemungkinan.

Pertama, lebih karena tidak mau repot. Soalnya, memang banyak kerepotan yang terjadi bila
menggunakan nama sendiri. Contohnya, ketika berkenalan menyebut nama kita: Rita, itu akan memancing orang lain untuk bertanya lebih banyak. Sudah berkeluarga Jeng? Lalu disusul pertanyaan berikutnya: siapa nama suaminya, apa pekerjaannya, asalnya, dari mana.....dan sebagainya.


Kedua, suami adalah nahkoda rumah tangga. Dan sebagai pemimpin, wajar kalau kita ngikut dia, bahkan sampai untuk urusan nama.

Ketiga, supaya gampang diterima lingkungan. Coba saja pikir, kalau semua tetangga dipanggil sesuai dengan nama suaminya, masak kita sendiri dipanggil dengan nama gadis. Bisa-bisa kita dituduh istri gelap.

Kempat, panggilan nyonya atau ibu, terasa lebih memberi kenyamanan psikologis. Itu akan membuat orang lain berhati-hati memperlakukan kita, karena sudah bersuami.

Indahnya Aturan Islam

Bagaimana Islam mengatur soal nama?


Budaya ini bukan dari Islam tapi justru datang dari Barat yang kemudian terakurlturasi ke dalam sebagian gaya hidup bangsa Indonesia. Islam sendiri memang tidak pernah mensyaraitkan hal itu, karena memang akan menimbulkan ghalath/kekacauan. Islam tidak pernah menyepelekan urusan nama. Islam bahkan serius memperhatikan masalah ini.

Nama merupakan harapan dari orang tua kepada sang buah hati (baik laki-laki maupun perempuan), yang mudah-mudahan Allah memberikan energi positif kepada si kecil. Misalkan, bila si kecil diberi nama Nuha yang artinya ilmu pengetahuan, dan kita mendidiknya untuk terus belajar agar menjadi orang berilmu. Insya Allah, si kecil akan selalu bersemangat menimba ilmu, baik ilmu duniawi maupun ilmu akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW berpesan kepada ummatnya untuk memberikan nama yang baik agar bisa memberi citra positif bagi si penyandangnya.

Nah, jika nama memberi energi positif, kenapa kita mesti mengubah nama Nuha menjadi Nyonya Joko, misalnya?

Nisbat Kepada Garis Ayah

Barangsiapa menisbatkan keturunan darinya kepada selain ayahnya sendiri dan dia mengetahui bahwa dia bukan ayahnya yang sebenarnya maka syurga diharamkan baginya (HR Muslim)

Hadis di atas jelas menyuruh kita untuk menisbatkan (menyandarkan) keturunan pada garis ayah. Mengapa? Tentu saja ini terkait erat dengan kejelasan silsilah. Bukankah ketika kita menikah maka wali perempuan haruslah dari garis keturunan laki-laki (ayah, paman, kakak laki-laki dsb)?

Dalam al-QurĂ¢’an surat Al Ahzab ayat 5 dijelaskan, kendati anak angkat, dia harus dipanggil sesuai nama bapaknya. Ini untuk menghindari hal-hal negatif, seperti kawin incest (kawin sedarah), misalnya.

Itulah sebabnya Islam mengajarkan agar menisbatkan nama anak kepada garis keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, sudah selayaknyalah kita dikenal sebagai Fatimah binti Hamid dan bukan Nyonya Fatimah Rozak atau Nyonya Rozak.

Menambah nama ayah pada nama kita, tentu tidak menghilangkan nama asli kita sama sekali. Kita hanya menisbatkannya pada ayah, bukan suami. Itu pula yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak kita. Untuk selalu, tanpa lupa, menggunakan nama sang ayah dibelakang nama-nama mereka. Baik bagi laki-laki maupun perempuan. Baik yang sudah menikah maupun masih lajang. Karena Allah sudah membuat aturan rasional ini, bahwa hubungan darah bersifat kekal.

Bukan seperti pernikahan, yang bisa hancur sewaktu-waktu. Jadi kenapa kita mesti mengikuti budaya yang salah padahal Allah sudah mengaturnya dengan manis? Konsep Barat yang banyak dipengaruhi oleh penyimpangan nasrani memang menetapkan bahwa sebuah perkawinan itu harus abadi selamanya tanpa memberi celah kemungkinan terjadinya perceraian, poligami dan seterusnya.

Karena itulah mereka menyatukan pasangan pengantin dalam format ‘keabadian’ dan melakukan ‘peleburan’ jati diri seorang istri kepada sosok suami. Salah satunya dengan melekatkan nama suami di belakang nama istri. Bahkan nama istri itu sendiri menjadi hilang berganti dengan nama suaminya.

Islam nampak lebih realistis dan lebih proporsional serta lebih menghargai jati diri dan aktualisasi sosok seorang istri. Kita tidak menemui istri Rasulullah SAW diganti namanya atau panggilan menjadi nyonya Muhammad misalnya. Istri Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali pun tidak pernah kita panggil dengan Nyonya Abu Bakar, Nyonya Umar, Nyonya Utsman atau Nyonya Ali. Mereka tetap dipanggil dengan nama mereka sendiri, kalaupun ada yang berubah, paling jauh adalah kuniyah (gelar) yang dikaitkan dengan nama anak atau ayah mereka.

Archives:
http://mx1.itb. ac.id/mailman/ private/unair/

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasih atas pencerahannya. banyak teman saya yang perempuan mengganti nama mereka ketika sudah menikah. artikel ini saya jadikan rujukan ya. semga jadi amal shaleh buat Mas....